Lihat! Berapa banyak selang yang kamu tanam dalam tubuhku. Kenapa tak kau biarkan alam melakukan tugas? Biarkan aku bebas. Untuk pertama dan yang terakhir bagimu dan bagiku, ijinkan aku akrab berpelukan dengan bumi. Jadi satu dengan bumi. Bumiku. Mungkin sisa-sisa jasadku mampu menyuburkan bumi. Dan sisa nafasku mewangi kebebasan pada udara yang jelaga.
sepuluh tahun. Ya, sudah sepuluh tahun. Atau mungkin juga lebih. Aku tak tahu. Sebab angka-angka di kalender selalu saja sama. Namun aku selalu lupa sudah berapa tahun hidup tanpa jiwa. Dan aku pun tak lagi peduli, apa hidup ini hanyalah mimpi ataukah kematian terlalu sunyi tuk ‘ku jumpai. Aku berjalan serupa Ahasveros. Dikutuk disumpahi Eros. Bahkan negeri tempat pertama kali aku menangis dan tertawa sudah serupa dinding buta. Dan dinding itu masih kokoh seperti dulu. Tak banyak yang berubah. Kecuali sekedar sulur-sulur yang merambati tiap sudutnya, mencoba hidup bagai kerakap.
10 tahun lalu. Mungkin lebih. Kita yang sama-sama teriakan apa yang kita maknai kebebasan. Apa yang kita yakini sebagai kebenaran. Kebenaran di ujung pedang. Kebenaran di wangi mesiu. Di tetes keringat, airmata, dan darah yang tertumpah. Padang Kurusetra. Padang Kurusetra mungkin kini merindukan darahku dan darahmu. Darah seorang Bisma. Darah yang mengalir lewat ribuan anak panah. Darah dari tubuh yang rebah, menantang langit tanpa menyentuh bumi. Padang kurusetra mungkin kini telah sesepi sunyi, namun api peperangan masih berkecamuk dalam jiwa ini.
Bisma. Seorang yang demi janjinya membela negeri yang entah, sembari berharap jejaknya di belantara sejarah menjadi titik yang menyiratkan sebuah asa. Prasasti yang mengilhami : aku mati, tapi bukan sebagai orang yang dibenci, meski juga tak dirindui. A hero during a war, would be just another murderer in peaceful times. Isn’t it? Dan dimana kita akan berdiri?
Panta rhei kai uden menci. Segala sesuatunya mengalir seperti arus sungai. Ya, arus sungai memang selalu mengalir. Tapi kita tidak. Kita tetap di sini. Di bumi yang bahkan airmata tak lagi isyratkan luka. Luka : ha… ha….. mungkin seperti Tardji, kita lebih merasa bermakna ketika kita masih bisa tertawa meski terluka. Dan tahukah engkau, kadang aku bosan menjadi manusia. Manusia yang sama seperti yang dikatakan Faust “Da steh’ ich nun, ich armer Tor! Und bin so klug als wie zuvor”. Ya, Disinilah aku si dungu yang malang, tak lebih bijak dari sebelumnya. Kenapa pula masih ku ukir prasasti tak terbaca ini? Kenapa masih kutulisi graffiti segala janji di tembok persimpangan itu?
Tapi terlalu lama. Terlalu lama kita hidup sebagai silhuet. Kini hiduplah sebagai cahaya. Yang di Atas sudah tak menurunkan lagi Mesias-Mesias di zaman yang justru lebih banyak membutuhkan juru selamat. Maka siapa lagi yang akan bertindak kalau bukan kita, kapan lagi akan bersuara kalau bukan sekarang. Homo sacrares homini. Setiap manusia mempunyai kewajiban suci bagi orang lain.
Atau kau telah begitu nikmat dengan racun dalam nadimu? Cara Desmond Tutu? Atau Mahatma Gandhi? Sia-sia. Terlalu sia-sia Sayang. Saat kebohongan sudah terlalu jujur untuk diungkap, maka tidaklah bijaksana untuk menjadi bijaksana. Karena kebijaksanan sudah terlalu akrab berkawan dengan keadaan.
Sebijak-bijaknya manusia adalah ia yang mengetahui bahwa kebijaksaan bukan segala-galanya. Maka aku memilih untuk tidak bijaksana. Meski bukan tanpa resiko. Sebab semangat amor fati seorang Nietszche sudah menjadi nadi dalam diriku.
Lalu apalagi yang kau tunggu, Sayang. Aku kini hanya seonggok daging. Bahkan mulai membusuk seandainya tak kau pasangi tubuhku dengan alat-alat rongsokan ini. Bumi menungguku ………
And everything came to nothing
Seperti ini
Tiap purnama aku kehilangan Bulan
Maka yang kumaknai hanya
Andai dan cacimaki
negeri sendiri makin tanpa arti
bahkan hari berkeluh
“sudahi saja pagi
mari tidur dan teruskan mimpi,
sendirisendiri”
Lihat dirimu Sayang. Apa kau memang masih ingin bertahan hidup, atau semata-mata keyakinan yang membuatmu tidak takut mati?
Sungguh keterlaluan! Apakah masa sepuluh tahun belum cukup untuk menurunkanmu dari ketinggian itu?! Terlalu tinggi Sayang, idealismemu terlalu tinggi melayang-layang di awang-awang. Kadang kita memang membutuhkan orang yang senang duduk di atas awan. Tapi tak perlu menjadi pahlawan mendadak untuk sekedar menjadi titik tak bernama di sebuah negeri tanpa peta. mungkin melata bersama cacing-cacing lebih bermakna ketimbang terbang dengan sebelah sayap dan sebuah kaki.
Kenali dirimu sendiri. begitu katamu selalu. Tapi kau bukan Socrates Sayang. Bahkan tak ada yang mengabadikan apologiamu dalam sidang pengadilan yang tak pernah ada! Keadilan memang buta. Hanya saja…… akh….. andai kau tahu; masih banyak mata, masih banyak Sayang. Masih banyak mata yang selalu basah. Seperti matamu.
Mungkin kau merasa nyaman berada di ketinggian itu, berjalan dan bertanya di pasar yang penuh sesak itu, tapi kami, kami juga menantimu. Menantimu kembali di sini. Di sisi sepi yang siluet pun menangis seorang diri.
Lihat Sayang. Matahari selalu baru, setiap hari. Bagiku, bagimu, bagi kita. Hanya saja kau pun tahu Sayang. Revolusi tak datang tiap dua hari sekali. Mungkin seabad, sepuluh abad, atau bahkan lebih. Dan selama itu pula kita tetap mesti tersenyum. Senyum termanis dan terindah. Seperti saat pertama kita menyapa dunia…
0 komentar:
Posting Komentar